Arti lambang Segitiga Parsadaan Simanjuntak Sitolu Sada Ina & Boruna (PSSSI & B ) oleh Alm. Ir. Sahala Simanjuntak (Sitombuk15)

Sudut pandang dari aspek Religiusitas.

Raja Marsundung Simanjuntak mempunyai 2 (Dua) orang isteri. Isteri pertama Boru Hasibuan, mempunyai anak 1 (Satu) orang bernama: Parsuratan. Setelah isteri pertama meninggal dunia, Raja Marsundung Simanjuntak memperisteri Sobosihon Boru Sihotang/Panoroni, dan mempunyai anak 3 (Tiga) orang dan 2(Dua) orang perempuan ( Yang hidup hanya satu orang ). Anak lakilaki bernama :

 1.Raja Mardaup/isteri br.Sihotang.

2.Raja Sitombuk/isteri br.Aruan

3.Raja Hutabulu/isteri br.Sihotang.

Anak perempuan bernama: Siboru Naompon/suami marga Sirait. Menyangkut nama Sobosihon Boru Sihotang, ada 3 (Tiga) hal yang menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan keturunan Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu, yang tercakup dalam Parsadaan Simanjuntak Sitolu Sada Ina & Boruna. Ketiga sumber inspirasi tersebut dituangkan kedalam satu kesatuan lambang segitiga, yaitu : 



Lingkaran yang terdiri dari Hitam melambangkan kepemimpinan / hahomion, Merah melambangkan semangat / kekuatan / hagogoon, Putih melambangkan kesucian / kebenaran / habonaron. Ketiga perlambang tersebut terakumulasi kedalam falsafah ROMPU LIMA, yakni : Sirungguk sitata disi hita marpungu disi ma Debata Mulajadi Na Bolon na mandongani / Divinity , Na dapot sambil sipaluaon Na dapot bubu sirungrungon / Human Rights, Silima haroroan sisada haroburan / Sociality , Hata sada hata mamunjung Hata torop sabungan ni hata / Demokrasi, Hatian sora teleng Ninggala sibola tali / Etika & Estetika / Keseimbangan kehidupan.

 

 

 

UGAMO.

 

Orientasi Sobosihon Boru Sihotang terhadap Tuhannya disebut Ugamo.

 

Media komunikasinya berupa Doa disebut Tongggo.

 

UGARI.

 

Interaksi sosial Sobosihon Boru Sihotang terhadap Keturunannya disebut Ugari.

 

Media komunikasinya berupa Titah disebut Tona.

 

UGASAN.

 

Integritas Sobosihon Boru Sihotang terhadap Lingkungan Hidup disebut Ugasan.

 

Media komunikasinya berupa Petuah disebut Poda.

 

TITAH / TONA.

 

Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu, tidak lagi satu kesatuan dalam hukum adat dengan abangnya Parsuratan sesuai dengan ikatan persaudaraan Dalihan Natolu (DNT). Jika PSSSI & BORUNA mengadakan pesta adat, tidak perlu lagi mengundang Parsuratan karena DNT tidak ada lagi yang mengikatnya. Begitu juga seluruh Pinompar Simanjuntak Sitolu Sada Ina yang tidak termasuk dalam PSSSI & BORUNA (Dikampung kami di Kec.Tampahan, Kab.Toba Samosir tidak ada PSSSI & BORUNA, termasuk di Hutabulu lokasi tugu Sobosihon Boru Sihotang) tetapi tetap menjalankan dan mengamalkan TITAH (TONA) Sobosihon Boru Sihotang dengan penuh tanggung jawab dan konsekwensi. Menurut saya, Simanjuntak Sitolu Sada Ina di kondisi dan situasi Abad XXI ini akan lebih memahami arti nilai Hak Azasi Manusia, berbeda dengan nenek moyang kita ± 300 Tahun lalu. Hukum adatnya menyatakan Simanjuntak Sitolu Sada Ina tidak lagi mempunyai ikatan tali persaudaraan dengan Parsuratan, tetapi didalam kehidupan saat ini interaksi sebagai manusia ciptaan Tuhan dan sebagai rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia tidaklah kita dipisahkan oleh Adat. Kita tetap sama dihadapan Tuhan dan mempunyai hak yang sama sebagai rakyat Indonesia.

 

Pendekatan pandangan saya terhadap TITAH / TONA Sobosihon Boru Sihotang

 

Dari aspek Hak Azasi Manusia, mengacu kepada pemikiran Bpk.Sabam Simanjuntak (H15),Glr.Op.Putri, yakni :

 

Jika ada Rindu yang membayangi kesedihan tentu ada cara untuk melepaskan rindu itu. ( Molo adong Sihol Sihalungunhononhon tontu adong Daon Siholna).

Jika ada Sakit yang harus diobati tentu ada Obat untuk menyembuhkannya. (Molo adong Sahit/Bugang siubatan tontu adong Taor/Tambar pamalumhon).

Jika ada Sumpah/Tonggo yang hendak dicabut, mekanisme untuk itu ada dalam Masyarakat Hukum Adat Batak.(Molo adong Tona siumpaton Tonggo Raja Parhiteanna).

 

PETUAH / PODA.

 

Akibat dari Titah/Tona Sobosihon Boru Sihotang kepada anaknya Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu, harta warisan dari ayah mereka Raja Marsundung Simanjuntak tidak lagi menjadi harta bersama dengan abangnya Parsuratan. Menurut pandangan penulis, Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu, membuat keputusan untuk melepaskan haknya atas harta peninggalan ayah mereka agar supaya dikemudian hari tidak ada lagi kaitan apapun dengan Parsuratan. Hal ini dapat dipahami sebab sawah yang ada untuk diusahai tidak lagi cukup luasnya untuk menghidupi mereka. Maka Raja Mardaup, Raja Sitombuk, Raja Hutabulu, membuka lahan persawahan baru diluar permukiman ayah mereka Raja Marsundung Simanjuntak (Pangumpolan). Lahan persawahan baru ini hingga kini tidak dapat dituntut Parsuratan menjadi harta milik bersama (Riperipe).

 

DOA / TONGGO = TANGIANG.

 

Penderitaan hidup/Parsorion yang dialami Sobosihon Boru Sihotang selalu disampaikannya kepada Tuhan Yang Maha Esa, melalui cara Martonggo/Berdoa = Martangiang. Doa/Tonggo yang pertama dipanjatkan Mohon Ampun KeharibaanNya agar orang tuanya Marga Sihotang Sigodang Ulu diberi TUHAN Keselamatan dan Kesejahteraan. Doa/Tonggo kedua, agar keturunannya diberi ridho oleh TYME menjalankan kehidupan ini sesuai dengan Titah/Tona dan Petuah/Poda yang disampaikan kepada seluruh keturunannya. Peristiwa Tahun 1963, tepatnya tgl 19 s/d 22 September 1963, Pomparan Simanjuntak Sitolu Sada Ina memproklamirkan kepada Masyarakat Hukum Adat Batak, bahwa telah didirikan satu Tugu Sobosihon Boru Sihotang beserta tiga anaknya dan tiga menantunya.di Hutabulu Balige sebagai simbol awal silsilah Marga Simanjuntak Sitolu Sada Ina. Dan pada saat itu pula lebih ditekankan arti Marga Sihotang Sigodang Ulu sebagai BONA NI ARI/Awal Matahari Terbit bagi Simanjuntak Sitolu Sada Ina.

 

Umumnya Masyarakat Hukum Adat Batak didalam menjalankan Kesepakatan/Padan MARBONA NI ARI mempunyai arti bahwa keturunan pihak hulahula tidak boleh memperisteri marga pihak boru. Apabila itu terjadi biasanya keturunan mereka tidak tercermin didalam unsur, Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon. Dalam hal ini marga Sihotang Sigodang Ulu dianggap tabu memperisteri marga Simanjuntak Sitolu Sada Ina. Sama seperti marga Manurung dianggap tabu memperisteri marga Tambunan. Jika demikian hukum adatnya berarti seluruh keturunan Boru Sihotang di dunia ini adalah juga menjadi keturunan Simanjuntak Sitolu Sada Ina. Inilah sebenarnya Doa/Tonggo Sobosihon Boru Sihotang kepada TMYE agar orang tuanya marga Sihotang Sigodang Ulu diberi Keselamatan dan Kesejahteraan. Maksudnya keturunan Sobosihon Boru Sihotang selalu terjalin ikatan bathin dengan marga Sihotang Sigodang Ulu, maupun dengan keturunan Boru Sihotang siapapun marga suaminya.

 

Satu tugas penting bagi Simanjuntak Sitolu Sada Ina, untuk memproklamirkan hal ini dihadapan Masyarakat Hukum Adat Batak bahwa Keturunan Simanjuntak Sitolu Sada Ina tidak boleh terjalin dalam satu ikatan perkawinan dengan keturunan Boru Sihotang. Apabila kenyataan ini terjadi maka marga Simanjuntak Sitolu Sada Ina lah yang membuat suatu peristiwa budaya pertama sekali di Abad XXI ini yang melaksanakan sesuai dengan kebiasaan leluhur nenek moyang MARPADAN (Perjanjian sesuai dengan Hukum Adat).

 

Demikianlah tulisan ini saya buat menjadi surat terbuka agar kita Pomparan Sobosihon Boru Sihotang Simanjuntak Sitolu Sada Ina terlebih generasi sekarang yang tidak memahami Bahasa Batak Toba sedikit banyak dapat memahami Sejarah Simanjuntak Sitolu Sada Ina.

 

Horas tondi madingin, Pir tondi matogu, Manghorasi ma Tuhan Debata


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketua Umum Parsadaan Simanjuntak Sitolu Sada Ina dohot Boruna (PSSSI&B) DKI Jakarta Raya dan sekitarnya Yudha BMH Simanjuntak, melantik Pengurus PSSSI&B Wilayah Bekasi, Periode 2021 – 2025, Minggu (14/11).

Pengurus PSSSI&B Jakarta Raya Wilayah Bekasi Gelar Rapat Perdana